
SUBANG — Media Suarainvestigasi.com – Bagi Dian, perwakilan Sanggar Melati Cikarang, Kabupaten Bekasi, Festival Galuh Pakuan Cup Seri IX bukan sekadar lomba tari. Ajang ini, kata dia, telah menjelma menjadi ruang pembelajaran kolektif, tempat anak-anak belajar sportivitas, memperluas jejaring, dan menyerap ragam kreativitas jaipongan dari berbagai daerah di Indonesia.
“Buat kami, ini bukan ajang main-main. Ini ajang bergengsi. Menang itu bonus, kalah itu pengalaman,” ujar Dian saat ditemui di sela-sela festival. Ia menegaskan bahwa nilai utama dari festival ini justru terletak pada proses belajar, bukan sekadar hasil lomba.
Menurut Dian, Festival Galuh Pakuan Cup telah diikuti Sanggar Melati selama lima tahun berturut-turut. Dalam rentang waktu itu, ia melihat transformasi besar: dari festival regional menjadi barometer jaipong tingkat nasional. Lonjakan peserta yang mencapai ribuan orang menjadi bukti nyata.
“Animonya luar biasa. Salah satu faktornya karena gratis, tidak ada biaya pendaftaran. Itu membuat semua sanggar, besar dan kecil, punya kesempatan yang sama,” katanya.
Jaipongan Kreasi, Tradisi yang Diperbarui
Dian menilai, keberhasilan festival ini juga terletak pada keberaniannya membuka ruang jaipongan kreasi. Variasi gerak, kostum, rias, dan koreografi berkembang pesat tanpa meninggalkan akar tradisi Sunda.
“Sekarang anak-anak jadi cinta tradisi. Mereka belajar seni tari, seni rias, seni kostum. Ini efektif menarik anak-anak yang tadinya lebih suka budaya modern,” ujarnya.
Ia mengaku antusias mengikuti festival ini karena menjadi tempat bertemu sanggar-sanggar dari berbagai daerah, mulai dari Garut, Sukabumi, hingga Bali dan Banyuwangi. Setiap daerah membawa ciri khas dan favorit kreasi masing-masing.
“Buat kami yang dari luar kota seperti Cikarang-Bekasi, ini daya tarik tersendiri. Bahkan pengalaman ikut festival ini membuat minat anak-anak di daerah kami untuk belajar jaipong meningkat,” kata Dian.
Kepercayaan pada Juri Akademisi
Soal penilaian, Dian mengaku percaya penuh pada dewan juri Festival Galuh Pakuan Cup. Ia menilai pemilihan juri dilakukan secara profesional dan berintegritas.
“Jurinya akademisi, punya gelar, tahu ilmunya. Saya yakin penilaiannya sportif, nyata, dan tidak asal,” ujarnya. Menurut Dian, kredibilitas juri menjadi faktor penting yang membuat sanggar-sanggar dari luar daerah bersedia datang jauh-jauh.
Efek Ekonomi Terasa Nyata
Festival ini, lanjut Dian, bukan hanya menggerakkan dunia seni, tetapi juga ekonomi lokal. Selama mengikuti acara, ia melihat langsung dampaknya di sekitar GOR Subang.
“Saya nginep di hotel dekat GOR, jaraknya cuma 5–10 menit, tapi sudah penuh semua. Hotel, makan, transportasi, semuanya bergerak,” tuturnya. Ia menilai, perputaran ekonomi selama festival berlangsung terasa hingga ke pelaku usaha kecil.
Ajang Nasional yang Digerakkan Masyarakat
Dian juga menyoroti peran sponsor tunggal, DonTing Management, yang konsisten mendukung festival. Ia mengaku mengenal peran tersebut sejak tahun sebelumnya.
“Menurut saya ini harusnya sudah level kementerian. Tapi faktanya bisa digelar mandiri oleh lembaga adat. Ini luar biasa,” katanya.
Ia mencontohkan kehadiran peserta dari Bali dan Banyuwangi pada edisi-edisi sebelumnya sebagai bukti bahwa Festival Galuh Pakuan Cup telah menjadi magnet nasional. Karena itu, ia berharap dukungan pemerintah daerah dan pusat bisa lebih nyata.
“Pemerintah harus support. Ini soal mengenalkan budaya Sunda dan Jawa Barat ke tingkat nasional,” ujarnya.
Dian optimistis festival jaipong seperti Galuh Pakuan Cup akan terus berkembang dan membumi. Menurutnya, pendekatan kreatif yang ditawarkan mampu menjembatani generasi muda dengan budaya leluhur.
“Jaipong ke depan akan membuming. Festival ini sudah jadi pemantik. Anak-anak yang tadinya condong ke budaya modern sekarang tertarik ke seni tradisi,” katanya.
Baginya, Festival Galuh Pakuan Cup bukan hanya perayaan seni, melainkan investasi kebudayaan—ruang di mana tradisi, kreativitas, dan masa depan generasi muda bertemu dalam satu panggung. (Int)










