Gunungsitoli – Media Suarainvestigasi.com –Imbas dari dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas II-B Gunungsitoli, Tonggo Butar-Butar, SH., MH terhadap seorang Narapidana atau WBP bernama Hendrikus Bate’e, akhirnya berbuntut panjang, Jumat (24/10/2025).
Kalapas Kelas II-B Gunungsitoli Tonggo Butar-Butar, SH., MH resmi dicopot dari jabatannya, memicu pertanyaan mendalam tentang standar operasional, pengawasan, dan budaya kekerasan yang mungkin masih mengakar dalam sistem Pemasyarakatan di Indonesia.
Kepala Seksi Ketertiban Lapas Kelas II-B Gunungsitoli, Makhriza, S.Hi, M.Si, mengonfirmasi pencopotan tersebut, menegaskan bahwa ini adalah respons cepat dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Sumatera Utara, Drs. Yudi Suseno Bc.IP, S.Pd, M.Si. Namun, apakah tindakan ini cukup untuk menuntaskan akar masalah yang lebih dalam?
“Benar, pasca insiden kemarin, Bapak Tonggo Butar-Butar dibebastugaskan sebagai Kalapas Gunungsitoli. Sebagai penggantinya, Bapak Eben Depari telah ditunjuk, sementara Bapak Tonggo ditarik untuk bertugas di Kanwil Sumut,” ujar Makhriza kepada awak media, Kamis (23/10/2025).
Ia menambahkan bahwa pemindahan Tonggo Butar-Butar berhubungan langsung dengan tindakan pemukulan yang diduga dilakukannya terhadap Napi Hendrikus Bate’e pada hari Rabu (22/10/2025).
Makhriza mengklaim bahwa situasi di Lapas Kelas II-B Gunungsitoli telah kembali kondusif setelah insiden tersebut. Namun, klaim ini patut dipertanyakan. Apakah mediasi yang dilakukan oleh Kalapas yang baru, Eben Depari, mampu menghilangkan trauma dan ketidakpercayaan yang mungkin dirasakan oleh warga binaan?
“Apakah ada jaminan bahwa insiden serupa tidak akan terulang di masa depan?
“Lapas Kelas II-B Gunungsitoli berkomitmen untuk melakukan evaluasi menyeluruh dalam pembinaan warga binaan demi mencegah kejadian serupa terulang,” imbuh Makhriza. Namun, komitmen ini harus diuji dengan tindakan nyata. Evaluasi menyeluruh harus melibatkan pihak eksternal yang independen, transparan, dan akuntabel.
Hendrikus Bate’e, korban dalam insiden ini, adalah napi kasus pembakaran rumah walet dengan vonis 11 tahun penjara, dan dijadwalkan akan memperoleh pembebasan bersyarat pada bulan November mendatang. Insiden ini menimbulkan pertanyaan, apakah sistem pemasyarakatan telah gagal dalam memberikan pembinaan yang manusiawi dan berkeadilan bagi narapidana?
Perwakilan dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI telah turun langsung ke Lapas Gunungsitoli untuk melakukan pengawasan. Namun, pengawasan ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak hanya bersifat reaktif setelah terjadi insiden.
Latar Belakang Insiden :
Pada Rabu (20/10/2025), ratusan napi di Lapas Kelas II-B Gunungsitoli memprotes dugaan penganiayaan terhadap Hendrikus Bate’e oleh Kalapas Tonggo Butar-Butar, yang dipicu oleh masalah sepele, yaitu sebungkus roti.
Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Kelas II-B Gunungsitoli, Fajariman Lase, SH, dalam konferensi pers sebelumnya, membenarkan adanya tindakan fisik berupa “Jitakan” dari Kalapas terhadap Hendrikus, dengan alasan emosi dan pelanggaran aturan Lapas. Fajariman juga mengklaim bahwa kekerasan fisik tidak termasuk dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) pembinaan.
Insiden ini menjadi sorotan tajam terhadap sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Apakah SOP yang ada sudah cukup efektif dalam mencegah tindakan kekerasan? Apakah ada mekanisme pengawasan yang memadai untuk memastikan SOP dijalankan dengan benar? Apakah budaya kekerasan masih menjadi bagian dari sistem pemasyarakatan?
Pencopotan Kalapas Gunungsitoli adalah langkah awal yang baik, namun bukan solusi akhir. Dibutuhkan reformasi sistem pemasyarakatan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel untuk memastikan bahwa setiap narapidana diperlakukan secara manusiawi dan berkeadilan, serta mendapatkan pembinaan yang efektif untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.
(yosi)


















Discussion about this post