Kota Tangerang – Suara investigasi –
Permohonan Cerai Talak yang diajukan oleh seorang suami berisinial “YG” (41) kepada sang isteri “TS” (41) di Ruang Sidang III Pengadilan Agama Kota Tangerang sempat menjadi perbincangan bagi masyarakat sekitar.
Pasalnya menurut keterangan dari sang isteri, “YG” sempat dirawat selama 4 bulan di RS. Khusus Jiwa Darma Graha pada tahun 2017 lalu, lantaran mengidap penyakit skizofrenia paranoid.
Ironis, Skizofrenia merupakan salah satu penyakit gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Bahkan gangguan ini pun menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.
Berdasarkan WHO, diperkirakan lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia. Penderita skizofrenia juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda. Di samping itu, setengah penderita skizofrenia diketahui juga menderita gangguan mental lain, seperti penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, diperkirakan 1-2 orang tiap 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia, dan hampir 15 persen penderitanya mengalami pemasungan.
Disisi lain penasehat hukum “TS” dari Law Firm AVATAR & PARTNERS sangat menyayangkan dengan adanya kejanggalan tersebut dalam proses persidangan Permohonan Cerai Talak suami isteri antara “YG” dan “TS” di Pengadilan Agama Kota Tangerang.
“Kami menilai adanya kejanggalan dalam proses persidangan Permohonan Cerai Talak ini,” ungkapnya kepada awak media. Selasa (21/7/2020).
Bedasarkan temuan resume medis milik suaminya “YG” pun ternyata sempat pernah dirawat selama 4 bulan di RS. Khusus Jiwa Darma Graha pada tahun 2017 lalu. Perawatan dapat membantu, namun penyakit ini tidak dapat disembuhkan, dapat bertahan selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Tegasnya.
Juru Bicara Pengadilan Agama Kota Tangerang H. Antung Jumberi S,H MHI mengatakan, “Kalau pengadilan kan belum memeriksa sejauh itu, karena berkas tersebut masih ditangani oleh kuasa hukum dan saat ini sidangnya masih tertutup kecuali sidang keputusan pengadilan nanti akan digelar secara terbuka untuk umum,” katanya.
Pengadilan Agama tidak boleh menolak berkas perkaranya yang diajukan, selebihnya akan diperiksa oleh para penesahat hukumnya.
Apabila memang ingin mengetahui bahwa penggugat memiliki penyakit gangguan mental jiwa, kita harus mempunyai bukti hasil keterangan setelah diperiksa dari staft ahli dokter ditahun 2020.
Penasehat hukum pun harus meminta hasil keterangan resume medis tersebut agar diketahui apakah saat ini kondisinya sudah sehat atau masih memiliki penyakit gangguan mental jiwanya.
Jika memang terbukti masih memiliki riwayat penyakit gangguan mental jiwa, nanti penasehat hukum juga harus menempuh jalur wali pengampuh sesuai yang telah diputuskan oleh pengadilan. tambahnya.
Dari peristiwa tersebut tidak semua jenis gangguan kejiwaan bisa membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit. ( Surya )
Discussion about this post